Penjelasan Lengkap Sikap Islam pada Orang yang Menghina Nabi Muhammad SAW
Mencintai dan memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
adalah syarat sahnya iman. Barangsiapa dalam hatinya tidak ada rasa
cinta dan penghormatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,
niscaya dalam hatinya tiada keimanan sedikit pun.
Semakin kuat rasa cinta seorang muslim kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam, niscaya keimanannya semakin kuat pula. Dan keimanan
tersebut akan mencapai puncaknya ketika seorang muslim lebih mencintai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam daripada rasa cintanya kepada
ayah, ibu, anak, istri, saudara dan manusia siapapun juga.
Sebagaimana ditegaskan dalam hadits-hadits shahih:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ،
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Demi Allah Yang nyawaku berada
di tangan-Nya. Salah seorang di antara kalian tidak beriman sehingga aku
lebih ia cintai daripada bapaknya dan anaknya sendiri.” (HR. Bukhari
no. 14)
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam bersabda: “Salah seorang di antara kalian tidak beriman
sehingga aku lebih ia cintai daripada bapaknya sendiri, anaknya sendiri
dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari no. 15 dan Muslim no. 44)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ
حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ
مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا
لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa salam bersabda: “Tiga perkara yang barangsiapa pada dirinya terdapat
ketiga perkara tersebut niscaya ia akan bisa meraih lezatnya keimanan:
(1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari manusia siapapun juga, (2)
mencintai seseorang semata-mata karena (orang tersebut taat kepada)
Allah dan (3) benci kembali kepada kekafiran setelah Allah
menyelamatkannya dari kekafiran, sebagaimana rasa bencinya jika
dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Seorang muslim senantiasa mencintai dan mengagungkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam. Di antara wujud mencintai dan mengagungkan
beliau adalah:
- Membenarkan wahyu Al-Qur’an dan as-sunnah (hadits nabawi) yang beliau terima dari Allah ta’ala.
- Melaksanakan perintah-perintah beliau, baik hal yang wajib maupun yang sunah.
- Menjauhi larangan-larangan beliau, baik hal yang haram maupun yang makruh.
Mempelajari, mengajarkan, mendakwahkan dan memperjuangkan ajaran agama Islam yang beliau bawa. - Menjadikan syariat beliau, Al-Qur’an dan as-sunnah, sebagai satu-satunya pedoman hidup dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
- Mengorbankan jiwa raga, harta, tenaga, pikiran dan waktunya untuk memperjuangkan tegaknya syariat beliau.
- Memanjatkan shalawat kepada beliau dan memohon kepada Allah agar kelak di hari kiamat diperkenankan menerima syafaat beliau.
- Memusuhi dan membenci orang-orang yang membenci, memusuhi, mencaci maki dan melecehkan beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam adalah pribadi agung dan manusia
pilihan yang paling dicintai dan diagungkan oleh Allah Ta’ala. Oleh
karenanya, mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam adalah
bagian dari mengagungkan syiar-syiar agama Allah Ta’ala. Sebagaimana
difirmankan oleh Allah Ta’ala,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan
syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”
(QS. Al-Hajj [22]: 32)
***
***
Tuntunan Islam dalam menyikapi pelecehan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam
Islam memandang penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sama artinya dengan penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala dan agama Islam. Sebab, Allah Ta’ala-lah Yang telah mengutus beliau sebagai penutup seluruh nabi dan rasul dengan membawa agama Islam.
Islam memandang penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sama artinya dengan penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala dan agama Islam. Sebab, Allah Ta’ala-lah Yang telah mengutus beliau sebagai penutup seluruh nabi dan rasul dengan membawa agama Islam.
Demikian pula penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada agama
Islam sama artinya dengan penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada
Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Tentu saja,
penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala juga merupakan
penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam dan agama Islam.
Allah Ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan agama Islam adalah tiga hal yang saling berkait erat dan tidak bisa dipisahkan. Ketiganya wajib diagungkan oleh seorang muslim. Penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada salah satunya berarti penghinaan, pelecehan dan caci makian kepada dua perkara lainnya.
Seorang muslim akan mengikuti tuntunan Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’
ulama dalam menyikapi tindakan dan orang yang melakukan penghinaan,
pelecehan dan caci makian kepada Allah Ta’ala, atau Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam. Lantas bagaimana
Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’ ulama memandang penghinaan, pelecehan dan
caci makian kepada Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam atau agama Islam?
Dalil-dalil Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an secara tegas telah menerangkan bahwa orang yang menghina, melecehkan dan mencaci maki Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam adalah orang yang kafir murtad jika sebelumnya ia adalah seorang muslim. Kekafiran orang tersebut adalah kekafiran yang berat, bahkan lebih berat dari kekafiran orang kafir asli seperti Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik.
Ayat-ayat Al-Qur’an secara tegas telah menerangkan bahwa orang yang menghina, melecehkan dan mencaci maki Allah Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam adalah orang yang kafir murtad jika sebelumnya ia adalah seorang muslim. Kekafiran orang tersebut adalah kekafiran yang berat, bahkan lebih berat dari kekafiran orang kafir asli seperti Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik.
Adapun jika sejak awal ia adalah orang kafir asli, maka tindakannya
menghina, melecehkan dan mencaci maki Allah Ta’ala, atau Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam tersebut telah menempatkan
dirinya sebagai gembong kekafiran dan pemimpin orang kafir. Di antara
dalil dari Al-Qur’an yang menegaskan hal ini adalah:
[1] Firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
“Jika mereka merusak sumpah (perjanjian damai)nya sesudah mereka
berjanji dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah
pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu
adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya
mereka berhenti.” (QS. At-Taubah [9]: 12)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah menyebut orang kafir yang mencerca
dan melecehkan agama Islam sebagai aimmatul kufri, yaitu
pemimpin-pemimpin orang-orang kafir. Jadi ia bukan sekedar kafir biasa,
namun gembong orang-orang kafir. Tentang hal ini, imam Al-Qurthubi
berkata, “Barangsiapa membatalkan perjanjian damai dan mencerca agama
Islam niscaya ia menjadi pokok dan pemimpin dalam kekafiran, sehingga
berdasar ayat ini ia termasuk jajaran pemimpin orang-orang kafir.”
(Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/84)
Imam Al-Qurthubi berkata, “Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini
atas wajibnya membunuh setiap orang yang mencerca agama Islam karena ia
telah kafir. Mencerca (ath-tha’nu) adalah menyatakan sesuatu yang tidak
layak tentang Islam atau menentang dengan meremehkan sesuatu yang
termasuk ajaran Islam, karena telah terbukti dengan dalil yang qath’i
atas kebenaran pokok-pokok ajaran Islam dan kelurusan cabang-cabang
ajaran Islam.
Imam Ibnu Al-Mundzir berkata, “Para ulama telah berijma’ (bersepakat)
bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam harus
dibunuh. Di antara yang berpendapat demikian adalah imam Malik (bin
Anas), Laits (bin Sa’ad), Ahmad (bin Hambal) dan Ishaq (bin Rahawaih).
Hal itu juga menjadi pendapat imam Syafi’i.” (Al-Jami’ li-Ahkamil
Qur’an, 8/82)
Imam Ibnu Katsir berkata, “Makna firman Allah mereka mencerca agama
kalian adalah mereka mencela dan melecehkan agama kalian. Berdasar
firman Allah ini ditetapkan hukuman mati atas setiap orang yang mencaci
maki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau mencerca agama Islam
atau menyebutkan Islam dengan nada melecehkan. Oleh karena itu Allah
kemudian berfirman maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir
itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat
dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti, maksudnya mereka kembali
dari kekafiran, penentangan dan kesesatan mereka.” (Tafsir Al-Qur’an
Al-’Azhim, 4/116)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Allah Ta’ala menamakan mereka
pemimpin-pemimpin orang-orang kafir karena mereka mencerca agama
Islam…Maka telah tetaplah bahwa setiap orang yang mencerca agama Islam
adalah pemimpin orang-orang kafir. Jika seorang kafir dzimmi mencerca
agama Islam maka ia telah menjadi seorang pemimpin bagi orang-orang
kafir, ia wajib dibunuh berdasar firman Allah Ta’ala “maka perangilah
pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu”.(Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala
Syatim Ar-Rasul, hlm. 17)
Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya mencaci maki Allah atau mencaci
maki Rasul-Nya adalah kekafiran secara lahir dan batin. Sama saja
apakah orang yang mencaci maki itu meyakini caci makian itu sebenarnya
haram diucapkan, atau ia meyakini caci makian itu boleh diucapkan,
maupun caci makian itu keluar sebagai kecerobohan bukan karena
keyakinan. Inilah pendapat para ulama fiqih dan seluruh ahlus sunnah
yang menyatakan bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan.” (Ash-Sharim
Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 512)
Beliau juga mengatakan: “Jika orang yang mencaci maki (Allah Ta’ala)
tersebut adalah seorang muslim maka ia wajib dihukum bunuh berdasar
ijma’ (kesepakatan ulama) karena ia telah menjadi orang kafir murtad dan
ia lebih buruk dari orang kafir asli. Seorang kafir asli sekalipun akan
mengagungkan Rabb dan meyakini agama batil yang ia anut tersebut
bukanlah sebuah olok-olokan dan caci makian kepada Allah Ta’ala.”
(Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 546)
[2]. Firman Allah Ta’ala:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ
وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ
تَسْتَهْزِئُونَ . لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ
كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan
Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?”
Tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah
kalian beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kalian (lantaran
mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain)
disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”
(QS.
At-Taubah [9]: 65-66)
Tentang sebab turunnya ayat ini, para ulama tafsir seperti imam
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mundzir dan
Jalaluddin As-Suyuthi telah meriwayatkan hadits dari lbnu Umar, Muhammad
bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qatadah bahwa dalam perang Tabuk ada
orang yang berkata, “Kita belum pernah melihat orang-orang seperti para
ahli baca Al-Qur`an ini. Mereka adalah orang yang lebih buncit perutnya,
lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan.” Para ahli
baca Al-Qur’an yang mereka olok-olok tersebut adalah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang ahli baca Al-Qur`an.
Mendengar ucapan itu, Auf bin Malik berkata: “Bohong kau. Justru kamu
adalah orang munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Auf bin Malik segera menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk melaporkan hal tersebut kepada beliau. Tetapi sebelum ia sampai,
wahyu Allah (QS. At-Taubah [9]: 65-66) telah turun kepada beliau.
Ketika orang yang ucapannya dilaporkan itu datang kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau telah beranjak dari tempatnya dan
menaiki untanya. Maka orang itu berkata kepada Rasulullah: “Wahai
Rasulullah! Sebenarnya kami tadi hanya bersenda-garau dan mengobrol
sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian jauh untuk menghilangkan
kepenatan dalam perjalanan jauh kami.”
Ibnu Umar berkata, “Aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana
unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kedua kakinya
tersandung-sandung batu sambil berkata: “Sebenarnya kami hanya
bersenda-gurau dan bermain-main saja.”
Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya kepadanya: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Beliau hanya mengatakan hal itu dan tidak memberikan bantahan lebih panjang lagi. (Jami’ul Bayan fi Ta’wili Ayyil Qur’an, 14/333-335, Tafsir Ibnu Abi Hatim, 6/1829-1830 dan Ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, 4/230-231)
Ayat di atas menegaskan bahwa orang tersebut menjadi orang kafir
murtad, padahal sebelumnya ia seorang muslim yang beriman, karena ia
mengucapan olok-olokan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
dan para sahabat. Padahal olok-olokan tersebut menurut pengakuannya
sekedar gurauan dan obrolan biasa sekedar pengusir kepenatan dalam
perjalanan jauh perang Tabuk. Maka bagaimana lagi dengan caci makian,
pelecehan dan ejekan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam secara
terang-terangan? Tak diragukan lagi, hal tersebut merupakan kemurtadan
dan kekafiran.
Imam Abu Bakar Al-Jashash Al-Hanafi berkata, “Ayat ini menunjukkan
bahwa orang yang bercanda dan orang yang serius itu hukumnya sama saat
ia mengucapkan kalimat kekufuran secara terang-terangan tanpa adanya
paksaan (siksaan berat terhadapnya untuk mengucapkannya). Karena
orang-orang munafik tersebut menyatakan bahwa ucapan yang mereka ucapkan
tersebut hanyalah sendau gurau belaka. Maka Allah memberitahukan kepada
mereka bahwa mereka telah kafir dengan sendau gurauan mereka itu.
Diriwayatkan dari Hasan Al-Bashri dan Qatadah bahwa orang-orang tersebut mengatakan dalam perang Tabuk: “Apakah orang ini (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam) berharap bisa menaklukkan istana-istana dan benteng-benteng di negeri Syam? Mustahil, mustahil.”
Maka Allah memberitahukan bahwa ucapan tersebut adalah sebuah
kekafiran mereka, baik mereka mengucapkannya dengan bercanda maupun
serius. Maka ayat ini menunjukkan kesamaan hukum (kekafiran) atas orang
yang mengucapkan kalimat kekufuran secara terang-terangan, baik ia
bercanda maupun serius. Ayat ini juga menunjukkan bahwa mengolok-olok
ayat-ayat Allah atau sebagian dari syariat (ajaran) agama-Nya
menyebabkan pelakunya kafir.” (Ahkamul Qur’an, 4/348-349)
Dari ayat di atas dan uraian sebab turunnya ayat tersebut, bisa
diketahui bahwa Allah Ta’ala menganggap olok-olokan terhadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam atau olok-olokan terhadap generasi sahabat
sebagai olok-olokan terhadap Allah Ta’ala dan ayat-ayat Allah Ta’ala.
Hal itu karena Allah Ta’ala dalam banyak ayat Al-Qur’an telah memuji dan
meridhai generasi sahabat (lihat misalnya QS. Al-Fath [48]: 18 dan 29,
At-Taubah [9]: 110 dan Al-Hasyr [59]: 8-10). Mengolok-olok Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam atau generasi sahabat berarti melecehkan,
meremehkan dan mendustakan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut; sekaligus
melecehkan, meremehkan dan mendustakan Allah Ta’ala yang telah
menurunkan ayat-ayat tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ayat ini merupakan dalil yang
tegas bahwa mengolok-olok Allah atau ayat-ayat-Nya atau rasul-Nya adalah
perbuatan kekafiran. Sehingga mencaci maki lebih layak untuk menjadi
perbuatan kekafiran. Ayat ini telah menunjukkan bahwa setiap orang yang
melecehkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,secara serius maupun
bercanda, adalah orang yang telah kafir.” (Majmu’ Fatawa, 7/272)
[3] Firman Allah Ta’ala:
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ
“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan nama Allah bahwa
mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka
telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan mereka telah menjadi kafir
sesudah Islam.” (QS. At-Taubah [9]: 74)
Para ulama tafsir menyebutkan sejumlah riwayat tentang sebab turunnya
ayat ini. Di antaranya riwayat yang menyebutkan bahwa ketika pada
perang Tabuk banyak ayat Al-Qur’an yang turun membongkar kebusukan
orang-orang munafik dan mencela mereka, maka Julas bin Suwaid bin Shamit
dan Wadi’ah bin Tsabit berkata: “Jika memang Muhammad benar atas
(ayat-ayat Al-Qur’an yang turun mencela) saudara-saudara kita, sementara
saudara-saudara kita adalah para pemimpin dan orang-orang terbak di
antara kita, tentulah kita ini lebih buruk dari seekor keledai.”
Mendengar ucapan kedua orang itu, sahabat Amir bin Qais berkata,
“Tentu saja, demi Allah, Muhammad itu orang yang berkata benar dan
ucapannya dibenarkan, dan sungguh engkau ini lebih buruk dari seekor
keledai.”
Amir bin Qais lalu melaporkan ucapan kedua orang itu kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam. Julas bin Suwaid segera mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam dan bersumpah dengan nama Allah bahwa Amir
telah berbohong. Amir pun balas bersumpah bahwa Julas telah benar-benar
telah mengucapkan ucapan yang dilaporkan tersebut. Amir berdoa, “Ya
Allah, turunkanlah sebuah wahyu kepada nabi-Mu.” Ternyata Allah kemudian
menurunkan ayat tersebut.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
Abdullah bin Ubay bin Salul yang mengatakan, “Perumpamaan kita dengan
Muhammad tidak lain seperti perkataan “Gemukkanlah anjingmu, niscaya ia
akan memakanmu!” Jika kita telah kembali ke Madinah, niscaya orang yang
mulia di antara kita (yaitu kelompok kita) akan mengusir orang yang hina
(Muhammad dan para sahabatnya).”
Perkataan ini didengar oleh sebagian sahabat dan dilaporkan kepada
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Maka Abdullah bin Ubay bin
Salul tergopoh-gopoh mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan
bersumpah tidak mengucapkan ucapan tersebut. Maka turunlah ayat
tersebut. (Fathul Qadir, 2/436 dan Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/206)
Riwayat manapun yang lebih kuat, semuanya menunjukkan bahwa
orang-orang tersebut divonis kafir murtad setelah beriman, disebabkan
ucapan mereka yang bernada olok-olokan dan merendahkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam. Hal ini menunjukkan bahwa caci makian dan pelecehan
secara terang-terangan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam lebih
berat kekafirannya, sehingga menjadikan pelakunya kafir murtad setelah
beriman.
Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani berkata, “Maksud dari firman Allah
Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran” adalah
perkataan-perkataan (olok-olokan) yang disebutkan dalam beragam riwayat
tadi. Adapun maksud dari firman Allah “dan mereka telah menjadi kafir
sesudah Islam” adalah mereka menjadi kafir dengan ucapan tersebut
setelah sebelumnya mereka menampakkan keislaman, jika sebelumnya dalam
hati mereka kafir. Maknanya, mereka melakukan perkara yang menyebabkan
kekafiran mereka, jika keislaman mereka dianggap sah.” (Fathul Qadir,
2/436).
Imam Al-Qurthubi berkata: “Imam Al-Qusyairi menyatakan: “Makna dari
perkataan kekafiranadalah mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam
dan mencerca agama Islam. Adapun makna dari “dan mereka telah menjadi
kafir sesudah Islam” adalah mereka menjadi kafir setelah mereka dianggap
sebagai orang-orang Islam.” (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/206)
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri berkata: “Kesimpulannya
barangsiapa mengucapkan ucapan kekafiran baik secara sendau gurau maupun
bermain-main, niscaya ia telah kafir menurut semua ulama, tanpa
mempertimbangkan keyakinan dia. Hal ini seperti telah ditegaskan dalam
kitab Al-Fatawa Al-Khaniyah dan Raddul Mukhtar.” (Ikfarul Mulhidin fi
Dharuriyatid Dien, hlm. 59)
[4]. Firman Allah Ta’ala:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ
آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا
مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً
مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي
جَهَنَّمَ جَمِيعاً
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu wahyu di dalam
Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk
beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain.Karena
sesungguhnya kalau kamu tetap duduk bersama mereka, tentulah kamu serupa
dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik
dan orang kafir di dalam neraka Jahanam.” (QS. An-Nisa’ [4]: 140)
Ayat ini menunjukkan kekafiran orang yang mengolok-olok ayat-ayat
Allah Ta’ala dan juga menunjukkan kekafiran orang yang duduk-duduk
bersama orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Allah, mendengarkan dan
mendiamkan saja olok-olokan mereka tersebut. Ayat ini memvonis orang
yang duduk bersama dan mendengarkan olok-olokan tersebut sebagai orang
kafir, meskipun ia tidak ikut mengolok-olok. Tentu saja orang yang
mencaci maki dan melecehkan Allah, ayat-ayat-Nya, rasul-Nya atau ajaran
agama-Nya lebih jelas lagi kekafirannya.
Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alu Syaikh berkata, “Makna ayat ini
adalah sesuai zhahirnya. Yaitu, jika seseorang mendengarkan ayat-ayat
Allah dikufuri dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), lalu ia
duduk-duduk bersama orang-orang kafir yang mengolok-olok tersebut
padahal ia tidak dipaksa untuk duduk mendengarkan (melalui siksaan yang
berat) dan ia pun tidak melakukan pengingkaran serta tidak beranjak
meninggalkan mereka sampai mereka membicarakan urusan lainnya; niscaya
ia telah kafir seperti orang-orang kafir tersebut. Meskipun ia tidak
melakukan seperti perbuatan mereka, karena sikapnya (duduk, diam dan
mendengarkan) tersebut mengandung makna ridha dengan kekafiran,
sementara ridha dengan kekafiran merupakan sebuah kekafiran.
Jika ia mengklaim bahwa ia membencinya dengan hatinya, niscaya klaim
tersebut tidak bisa diterima, karena penilaian didasarkan kepada aspek
lahiriah dirinya. Sementara ia telah menampakkan kekafiran, sehingga ia
pun menjadi orang kafir.” (Majmu’atut Tauhid, hlm. 48)
Imam Al-Qurthubi berkata: “Barangsiapa tidak menjauhi mereka, berarti
ia rela dengan perbuatan mereka. Sementara rela dengan kekafiran
merupakan sebuah kekafiran. Maka barangsiapa duduk dalams ebuah majlis
kemaksiatan dan ia tidak mengingkari perbuatan mereka, niscaya dosanya
sama dengan dosa mereka. Jika ia tidak mampu mengingkari mereka, maka ia
selayaknya beranjak pergi agar tidak termasuk dalam golongan yang
terkena ayat ini.” (Al-Jami’ fi Ahkamil Qur’an, 5/418)
Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i dalam kitabnya, Al-I’lam
bi-Qawathi’il Islam pada bahasan kekufuran yang disepakati oleh para
ulama, mengutip dari kitab para ulama madzhab Hanafi yang menyebutkan:
“Barangsiapa mengucapkan ucapan kekafiran, maka ia telah kafir. Setiap
orang yang menganggap baik ucapa kekafiran tersebut atau rela dengannya
juga telah kafir.”
Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i juga mengutip dari kitab Al-Bahr bahwa seseorang yang secara sukarela mengucapkan ucapan kekafiran sementara hatinya masih meyakini keimanan, maka status dirinya adalah ia telah kafir dan di sisi Allah ia bukanlah orang yang beriman. Demikian pula disebutkan dalam Fatawa Qadhi Khan, Al-Fatawa Al-Hindiyah dan Jami’ul Fushulain.” (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 59)
***
Dalil-dalil dari as-sunnah
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam diutus sebagai rahmatan lil ‘alamien. Beliau terkenal luas sebagai seorang yang sabar, santun, pemaaf, dan penyayang. Seluruh ucapan dan perbuatan beliau adalah pelaksanaan dari wahyu Al-Qur’an. Beliau adalah “Al-Qur’an yang berjalan”. Seluruh ucapan dan perbuatan beliau adalah akhlak mulia yang wajib dicontoh oleh kaum muslimin.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam diutus sebagai rahmatan lil ‘alamien. Beliau terkenal luas sebagai seorang yang sabar, santun, pemaaf, dan penyayang. Seluruh ucapan dan perbuatan beliau adalah pelaksanaan dari wahyu Al-Qur’an. Beliau adalah “Al-Qur’an yang berjalan”. Seluruh ucapan dan perbuatan beliau adalah akhlak mulia yang wajib dicontoh oleh kaum muslimin.
Lantas bagaimana teladan ucapan dan perbuatan Nabi shallalalhu
‘alaihi wa salam dalam menyikapi orang-orang yang mencaci maki,
melecehkan dan mengolok-olok Allah atau ajaran Islam atau diri beliau
sendiri? Jawabannya bisa kita dapatkan dari hadits-hadits shahih berikut
ini:
[1] Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ أَعْمَى كَانَتْ لَهُ أُمُّ وَلَدٍ تَشْتُمُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتَقَعُ فِيهِ،
فَيَنْهَاهَا، فَلَا تَنْتَهِي، وَيَزْجُرُهَا فَلَا تَنْزَجِرُ، قَالَ:
فَلَمَّا كَانَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ، جَعَلَتْ تَقَعُ فِي النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتَشْتُمُهُ، فَأَخَذَ الْمِغْوَلَ فَوَضَعَهُ
فِي بَطْنِهَا، وَاتَّكَأَ عَلَيْهَا فَقَتَلَهَا، فَوَقَعَ بَيْنَ
رِجْلَيْهَا طِفْلٌ، فَلَطَّخَتْ مَا هُنَاكَ بِالدَّمِ،
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang laki-laki
buta yang memiliki seorang budak perempuan yang hamil dari hubungan
dengannya (ummu walad). Budak perempuan itu biasa mencaci maki dan
merendahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Sebagai tuan, laki-laki
buta itu telah memperingatkan budak perempuannya untuk menghentikan
perbuatan buruknya itu, namun perempuan itu tidak mau menuruti
peringatannya. Laki-laki buta itu telah memerintahkan budak perempuannya
menghentikan perbuatan buruknya itu, namun perempuan itu tidak mau
berhenti.
Pada suatu malam, budak perempuan itu kembali mencaci maki Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam. Maki laki-laki buta itu mengambil belati
dan menusukkannya ke perut perempuan serta menekannya dengan kuat sampai
budak perempuan itu tewas. Tiba-tiba seorang bayi laki-laki keluar dari
perut perempuan itu di antara kedua kakinya, dan darahnya menodai
ranjang.
فَلَمَّا أَصْبَحَ ذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَمَعَ النَّاسَ فَقَالَ: «أَنْشُدُ اللَّهَ رَجُلًا
فَعَلَ مَا فَعَلَ لِي عَلَيْهِ حَقٌّ إِلَّا قَامَ»، فَقَامَ الْأَعْمَى
يَتَخَطَّى النَّاسَ وَهُوَ يَتَزَلْزَلُ حَتَّى قَعَدَ بَيْنَ يَدَيِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، أَنَا صَاحِبُهَا، كَانَتْ تَشْتُمُكَ، وَتَقَعُ فِيكَ،
فَأَنْهَاهَا فَلَا تَنْتَهِي، وَأَزْجُرُهَا، فَلَا تَنْزَجِرُ، وَلِي
مِنْهَا ابْنَانِ مِثْلُ اللُّؤْلُؤَتَيْنِ، وَكَانَتْ بِي رَفِيقَةً،
فَلَمَّا كَانَ الْبَارِحَةَ جَعَلَتْ تَشْتُمُكَ، وَتَقَعُ فِيكَ،
فَأَخَذْتُ الْمِغْوَلَ فَوَضَعْتُهُ فِي بَطْنِهَا، وَاتَّكَأْتُ
عَلَيْهَا حَتَّى قَتَلْتُهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «أَلَا اشْهَدُوا أَنَّ دَمَهَا هَدَرٌ»
Keesokan paginya, berita pembunuhan terhadap budak perempuan yang
hamil itu dilaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
Maka beliau mengumpulkan para sahabat dan bersabda, “Aku bersumpah
dengan nama Allah, hendaknya orang yang melakukan pembunuhan itu berdiri
sekarang juga memenuhi panggilanku!”
Maka laki-laki yang buta itu berdiri, berjalan di antara orang-orang
dan maju ke depan sehingga ia bisa duduk di depan Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam. Laki-laki itu berkata: “Wahai Rasulullah, akulah yang
telah membunuhnya. Dia selalu mencaci maki dan merendahkan Anda. Aku
telah memperingatkannya, namun ia tidak mau peduli. Aku telah
melarangnya, namun ia tidak mau berhenti. Aku memiliki dua orang anak
seperti intan pertama darinya. Ia adalah kawan hidupku. Ketika tadi
malam ia kembali mencaci maki dan merendahkan Anda, maka aku pun
mengambil belati, menusukkan ke perutnya dan menekannya dengan kuat
sampai ia tewas.”
Mendengar pengakuan laki-laki buta itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salam bersabda: “Hendaklah kalian semua menjadi saksi, bahwa darah
perempuan itu telah sia-sia.” (HR. Abu Daud no. 4361, An-Nasai no. 4070,
Al-Baihaqi no. 13375, sanadnya dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)
Imam Syamsul Haq ‘Azhim Abadi berkata: “Beliau bersabda “darah
perempaun itu telah sia-sia” barangkali karena berdasar wahyu, beliau
telah mengetahui kebenaran pengakuan laki-laki itu. Hadits ini
menunjukkan bahwa jika orang kafir dzimmi tidak menahan lisannya dari
(mencaci maki atau melecehkan) Allah dan rasul-Nya, niscaya ia tidak
memiliki dzimmah (jaminan keamanan bagi orang kafir dzimmi) sehingga ia
halal dibunuh. Demikian dikatakan oleh imam (Muhammad Hayat) As-Sindi Imam Al-Mundziri berkata: Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasai.
Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang mencaci maki Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam dijatuhi hukuman mati.
Dikatakan (oleh para ulama): Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika
orang yang mencaci maki tersebut adalah seorang muslim, maka ia wajib
dihukum mati. Perbedaan pendapat terjadi ketika orang yang mencaci maki
adalah orang kafir dzimmi. Imam Syafi’i berpendapat ia harus dihukum
bunuh dan ikatan dzimmahnya telah batal. Imam Abu Hanifah berpendapat ia
tidak dihukum mati, sebab dosa kesyirikan yang mereka lakukan masih
lebih besar dari dosa mencaci maki. Imam Malik berpendapat jika orang
yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang Yahudi
atau Nasrani, maka ia wajib dihukum mati, kecuali jika ia masuk Islam.
Demikian penjelasan dari imam Al-Mundziri. (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan
Abu Daud, 12/11)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hadits ini merupakan dalil
yang tegas tentang bolehnya membunuh perempuan tersebut karena ia telah
mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Tentu saja, hadits ini
juga menjadi dalil lebih bolehnya membunuh orang kafir dzimmi dan
membunuh seorang muslim atau muslimah yang mencaci maki Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam.”(Ash-
Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul, hlm. 62)
Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul, hlm. 62)
[2] Hadits Jabir bin Abdullah tentang kisah pembunuhan terhadap pemimpin Yahudi, Ka’ab bin Asyraf:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ لِكَعْبِ بْنِ
الأَشْرَفِ، فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ»، قَالَ مُحَمَّدُ
بْنُ مَسْلَمَةَ: أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:«نَعَمْ،
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi
shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Siapakah yang mau “membereskan”
Ka’ab bin Asyraf? Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan rasul-Nya.”
Muhammad bin Maslamah bertanya, “Apakah Anda senang jika aku
membunuhnya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ya”…” (HR. Bukhari no.
3031 dan Muslim no. 1801)
Imam Bukhari telah menyebutkan kisah pembunuhan Ka’ab bin Asyraf
tersebut dalam beberapa hadits (no. 2510, 3031, 4037). Kisah pembunuhan
oleh regu suku Aus tersebut juga disebutkan dalam semua kitab sirah
nabawiyah (sejarah hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam).
[3] Hadits Barra’ bin Azib tentang kisah satu regu suku Khazraj yang
diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam untuk membunuh tokoh
Yahudi Khaibar, Abu Rafi’ Salam bin Abil Huqaiq karena ia sering
mencaci maki dan melecehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.
Hadits tersebut diriwayatkan beberapa kali oleh imam Bukhari dalam
kitab shahihnya dan kisahnya juga disebutkan dalam semua kitab sirah
nabawiyah. Di antara lafal hadits tersebut dalam shahih Bukhari adalah
sebagai berikut:
عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَبِي رَافِعٍ اليَهُودِيِّ رِجَالًا مِنَ
الأَنْصَارِ، فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَتِيكٍ، وَكَانَ
أَبُو رَافِعٍ يُؤْذِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَيُعِينُ عَلَيْهِ، وَكَانَ فِي حِصْنٍ لَهُ بِأَرْضِ الحِجَازِ
Dari Barra’ bin Azib berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
mengirim beberapa orang sahabat Anshar untuk (membunuh) pemimpin
Yahudi, Abu Rafi’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengangkat
Abdullah bin Atik sebagai komandan regu untuk tugas tersebut. Abu Rabi’
adalah pemimpin Yahudi yang sering menyakiti dan memusuhi beliau. Ia
tinggal di sebuah benteng miliknya di daerah Hijaz…” (HR. Bukhari no.
4039, Al-Baihaqi no. 18100)
عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «بَعَثَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَهْطًا إِلَى أَبِي
رَافِعٍ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَتِيكٍ بَيْتَهُ لَيْلًا
وَهُوَ نَائِمٌ فَقَتَلَهُ
Dari Barra’ bin Azib berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
mengirim beberapa orang sahabat Anshar untuk (membunuh) pemimpin
Yahudi, Abu Rafi’. Maka Abdullah bin Atik memasuki (benteng dan rumah)
Abu rafi’ pada malam hari saat ia tengah terlelap tidur, maka Abdullah
bin Atik pun segera membunuhnya.” (HR. Bukhari no. 4038, Al-Baihaqi no.
18100)
Imam Bukhari memasukkan hadits-hadits kisah pembunuhan Abu Rafi’
Al-Yahudi tersebut dalam bab “membunuh orang musyrik yang sedang tidur”
(no. hadits 3022 dan 3023) dan bab “pembunuhan atas Abu Rafi’ Abdullah
bin Abil Huqaiq” (no. hadits 4038, 4039, 4040). Kisah pembunuhan atas
Abu Rafi’ Al-Yahudi juga diriwayatkan oleh imam Abdur Razzaq
Ash-Shan’ani, Al-Baihaqi, Abu Ya’la Al-Maushili, Ath-Thabarani dan
lain-lain dari jalur Abdullah bin Atik, Abdullah bin Unais dan
Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Hadits ini menunjukkan kebolehan membunuh orang-orang mereka (kafir) yang sangat menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Abu Rafi’ adalah orang yang sangat memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan ia memprokovasi manusia untuk hal itu.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 6/156)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Hadits ini menunjukkan kebolehan membunuh orang-orang mereka (kafir) yang sangat menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Abu Rafi’ adalah orang yang sangat memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan ia memprokovasi manusia untuk hal itu.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 6/156)
***
Sikap Para Khulafa’ Rasyidin dan Generasi Sahabat
[1] Imam Saif bin Umar At-Tamimi dalam kitab Ar-Riddah wal Futuh menyebutkan bahwa ada dua orang wanita yang ditangkap dan dihadapkan kepada Muhajir bin Abi Rabi’ah, gubernur wilayah Yamamah dan sekitarnya. Wanita pertama menyanyikan lagu caci makian kepada Nabi shallallahu aIaihi wa salam. Wanita kedua menyanyikan lagu caci makian kepada kaum muslimin. Maka Muhajir bin Abi Umayyah menjatuhkan hukuman potong tangan dan pencabutan gigi seri kedua wanita tersebut.
[1] Imam Saif bin Umar At-Tamimi dalam kitab Ar-Riddah wal Futuh menyebutkan bahwa ada dua orang wanita yang ditangkap dan dihadapkan kepada Muhajir bin Abi Rabi’ah, gubernur wilayah Yamamah dan sekitarnya. Wanita pertama menyanyikan lagu caci makian kepada Nabi shallallahu aIaihi wa salam. Wanita kedua menyanyikan lagu caci makian kepada kaum muslimin. Maka Muhajir bin Abi Umayyah menjatuhkan hukuman potong tangan dan pencabutan gigi seri kedua wanita tersebut.
Ketika berita itu sampai kepada khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq, maka
khalifah segera menulis surat kepada Muhajir bin Abi Rabi’ah tentang
wanita yang menyanyikan lagu cacian kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
salam,
لولا ما سبقتني فيها لأمرتك بقتلها، لأن حد الأنبياء ليس يشبه الحدود، فمن تعاطى ذلك من مسلم فهو مرتد أو معاهد فهو محارب غادر
“Seandainya engkau tidak mendahuluiku menjatuhkan hukuman kepada
wanita itu, tentulah aku akan memerintahkanmu untuk membunuh wanita itu.
Sebab hukuman (mencaci maki) para nabi tidak sama dengan
hukuman-hukuman lainnya. Jika caci makian kepada nabi itu diucapkan oleh
seorang muslim, maka ia telah murtad. Dan jika caci makian kepada nabi
itu diucapkan oleh seorang kafir yang terlibat perjanjian damai maka ia
telah menjadi orang yang memerangi Islam dan mencederai perjanjian damai
secara sepihak.” (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 104 dan
Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 200)
[2]. Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan dari Mujahid bin Jabr berkata:
“Seorang laki-laki yang mencaci maki Nabi shallallahu aIaihi wa salam
dihadapkan kepada khalifah Umar bin Khathab, maka khalifah membunuhnya.
Khalifah Umar berkata:
من سب الله أو سب أحدا من الأنبياء فاقتلوه
“Barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki salah seorang
nabi-Nya, maka bunuhlah dia!”(Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien,
hlm. 104 dan Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 201)
[3]. Hukuman mati untuk orang-orang yang mencaci maki Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam juga diriwayatkan dari perkataan para ulama
sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, dan para komandan perang dan
gubernur di kalangan sahabat seperti Muhammad bin Maslamah, Khalid bin
Walid dan Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhum. (Ash-Sharimul Maslul ‘ala
Syatimir Rasul, hlm. 202-205)
[4]. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata: “Ia harus dibunuh, karena
orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam telah murtad
dari Islam, dan seorang muslim tidak akan mencaci Nabi shallallahu
‘alaihi wa salam.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 5)
***
Pendapat Para Ulama Madzhab
[1] Madzhab Hanafi
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hanafi berkata: “Seluruh ulama telah bersepakat bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dijatuhi hukuman mati. Imam Ath-Thabari juga mengutip pendapat dari imam Abu Hanifah dan murid-muridnya tentang kemurtadan orang yang melecehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, atau berlepas diri dari beliau atau menuduh beliau berdusta.” (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 64)
[1] Madzhab Hanafi
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hanafi berkata: “Seluruh ulama telah bersepakat bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dijatuhi hukuman mati. Imam Ath-Thabari juga mengutip pendapat dari imam Abu Hanifah dan murid-muridnya tentang kemurtadan orang yang melecehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, atau berlepas diri dari beliau atau menuduh beliau berdusta.” (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 64)
[2]. Madzhab Maliki
Imam Muhammad bin Sahnun Al-Maliki berkata: “Seluruh ulama telah bersepakat bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan melecehkan beliau adalah orang yang kafir, dan barangsiapa meragukan kekafirannya dan bahwa ia diadzab niscaya telah kafir pula.”(Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 64)
Imam Muhammad bin Sahnun Al-Maliki berkata: “Seluruh ulama telah bersepakat bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan melecehkan beliau adalah orang yang kafir, dan barangsiapa meragukan kekafirannya dan bahwa ia diadzab niscaya telah kafir pula.”(Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien, hlm. 64)
Al-Qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahshibi Al-Maliki berkata: “Tidak ada
perbedaan pendapat bahwa orang yang mencaci maki Allah Ta’ala dari
kalangan kaum muslimin telah menjadi orang kafir yang halal darahnya.
Demikian pula orang yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salam sengaja berdusta dalam menyampaikan atau mengabarkan wahyu, atau
ia meragukan kejujuran beliau, atau ia mencaci maki beliau, atau ia
mengatakan bahwa beliau belum menyampaikan wahyu, atau ia meremehkan
beliau atau meremehkan salah seorang nabi lainnya, atau ia mengejek
mereka, atau ia menyakiti mereka, atau ia membunuh seorang nabi, atau ia
memerangi seorang nabi, maka ia telah kafir berdasar ijma’ ulama.”
(Asy-Syifa fit Ta’rif bi-Huquqil Musthafa, hlm. 582)
[3]. Madzhab Syafi’i
Imam Abu Sulaiman Al-Khathabi Asy-Syafi’i berkata, “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari seorang muslim pun tentang kewajiban membunuhnya (orang yang mencaci maki nabi).” (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 2)
Imam Abu Bakr Al-Farisi dari kalangan ulama madzhab Syafi’i telah menyebutkan ijma’ seluruh kaum muslimin bahwa hukuman untuk orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah hukuman mati. (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 2)
Imam Abu Sulaiman Al-Khathabi Asy-Syafi’i berkata, “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari seorang muslim pun tentang kewajiban membunuhnya (orang yang mencaci maki nabi).” (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 2)
Imam Abu Bakr Al-Farisi dari kalangan ulama madzhab Syafi’i telah menyebutkan ijma’ seluruh kaum muslimin bahwa hukuman untuk orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah hukuman mati. (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 2)
Imam Ibnu Al-Mundzir Asy-Syafi’i berkata, “Para ulama telah berijma’
(bersepakat) bahwa orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salam harus dibunuh. Di antara yang berpendapat demikian adalah imam
Malik (bin Anas), Laits (bin Sa’ad), Ahmad (bin Hambal) dan Ishaq (bin
Rahawaih). Hal itu juga menjadi pendapat imam Syafi’i.” (Al-Jami’
li-Ahkamil Qur’an, 8/82)
Imam Al-Mundziri Asy-Syafi’i berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika orang yang mencaci maki tersebut adalah seorang muslim, maka ia wajib dihukum mati. Perbedaan pendapat terjadi ketika orang yang mencaci maki adalah orang kafir dzimmi. Imam Syafi’i berpendapat ia harus dihukum bunuh dan ikatan dzimmahnya telah batal. Imam Abu Hanifah berpendapat ia tidak dihukum mati, sebab dosa kesyirikan yang mereka lakukan masih lebih besar dari dosa mencaci maki. Imam Malik berpendapat jika orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang Yahudi atau Nasrani, maka ia wajib dihukum mati, kecuali jika ia masuk Islam.” (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 12/11)
Imam Al-Mundziri Asy-Syafi’i berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika orang yang mencaci maki tersebut adalah seorang muslim, maka ia wajib dihukum mati. Perbedaan pendapat terjadi ketika orang yang mencaci maki adalah orang kafir dzimmi. Imam Syafi’i berpendapat ia harus dihukum bunuh dan ikatan dzimmahnya telah batal. Imam Abu Hanifah berpendapat ia tidak dihukum mati, sebab dosa kesyirikan yang mereka lakukan masih lebih besar dari dosa mencaci maki. Imam Malik berpendapat jika orang yang mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang Yahudi atau Nasrani, maka ia wajib dihukum mati, kecuali jika ia masuk Islam.” (‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 12/11)
[4]. Madzhab Hambali
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Barangsiapa mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam atau melecehkan beliau, baik ia orang muslim atau orang kafir, maka ia wajib dibunuh. Aku berpendapat ia dijatuhi hukuman mati dan tidak perlu diberi tenggang waktu untuk bertaubat.”(Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 4)
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Barangsiapa mencaci maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam atau melecehkan beliau, baik ia orang muslim atau orang kafir, maka ia wajib dibunuh. Aku berpendapat ia dijatuhi hukuman mati dan tidak perlu diberi tenggang waktu untuk bertaubat.”(Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 4)
Imam Ishaq bin Rahawaih berkata: “Kaum muslimin telah bersepakat
bahwa barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki Rasul-Nya atau
menolak sebagian wahyu yang Allah turunkan atau membunuh salah seorang
nabi yang diutus Allah, maka ia telah kafir dengan perbuatannya itu
sekalipun ia mengakui seluruh wahyu yang Allah turunkan.” (Ash-Sharim
Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 3)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya mencaci maki
Allah atau mencaci maki Rasul-Nya adalah kekafiran secara lahir dan
batin. Sama saja apakah orang yang mencaci maki itu meyakini caci makian
itu sebenarnya haram diucapkan, atau ia meyakini caci makian itu boleh
diucapkan, maupun caci makian itu keluar sebagai kecerobohan bukan
karena keyakinan. Inilah pendapat para ulama fiqih dan seluruh ahlus
sunnah yang menyatakan bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan.”
(Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 512)
[5] Madzhab Zhahiri
Imam Muhammad bin Hazm Azh-Zhahiri berkata: “Berdasar dalil-dalil yang kami uraikan di atas maka benarlah bahwa setiap orang yang mencaci maki Allah atau mengolok-olok Allah, atau mencaci maki seorang malaikat atau mengolok-oloknya, atau atau mencaci maki seorang nabi atau mengolok-oloknya, atau mencaci maki sebuah ayat Allah atau mengolok-oloknya, padahal semua ajaran syariat Islam dan seluruh ayat Al-Qur’an adalah bagian dari ayat Allah, niscaya ia telah kafir murtad, atas dirinya harus diterapkan hukuman bagi seorang murtad. Inilah pendapat yang kami pegangi.” (Al-Muhalla, 12/438)
Imam Muhammad bin Hazm Azh-Zhahiri berkata: “Berdasar dalil-dalil yang kami uraikan di atas maka benarlah bahwa setiap orang yang mencaci maki Allah atau mengolok-olok Allah, atau mencaci maki seorang malaikat atau mengolok-oloknya, atau atau mencaci maki seorang nabi atau mengolok-oloknya, atau mencaci maki sebuah ayat Allah atau mengolok-oloknya, padahal semua ajaran syariat Islam dan seluruh ayat Al-Qur’an adalah bagian dari ayat Allah, niscaya ia telah kafir murtad, atas dirinya harus diterapkan hukuman bagi seorang murtad. Inilah pendapat yang kami pegangi.” (Al-Muhalla, 12/438)
***
Logika iman dan logika kekuasaan
Inilah tuntunan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits shahih, tuntunan khulafaur rasyidin dan pendapat seluruh ulama Islam dari seluruh madzhab di kalangan ahlus sunnah dalam menyikapi orang-orang yang melecehkan, mengejek, merendahkan, mengolok-olok atau mencaci maki Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam.
Kita bersyukur bahwa kaum muslimin di Benghazi, Libya, telah memberikan contoh keteladanan bagi kaum muslimin sedunia dalam membela kehormatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam. Semoga kaum muslimin lainnya bisa membuktikan pembelaannya kepada kehormatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam yang dilecehkan oleh orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang kafir lainnya.
Inilah tuntunan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits shahih, tuntunan khulafaur rasyidin dan pendapat seluruh ulama Islam dari seluruh madzhab di kalangan ahlus sunnah dalam menyikapi orang-orang yang melecehkan, mengejek, merendahkan, mengolok-olok atau mencaci maki Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam.
Kita bersyukur bahwa kaum muslimin di Benghazi, Libya, telah memberikan contoh keteladanan bagi kaum muslimin sedunia dalam membela kehormatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam. Semoga kaum muslimin lainnya bisa membuktikan pembelaannya kepada kehormatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam yang dilecehkan oleh orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang kafir lainnya.
Orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang kafir lainnya pasti tidak
akan pernah berhenti melecehkan, mengejek, mengolok-olok dan mencaci
maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Secara lahiriah, mulut mereka
mengatas namakan “kebebasan seni, kebebasan berekspresi, demokrasi dan
HAM. Adapun seca batin, isi hati mereka telah ditelanjangi oleh Allah
Ta’ala dengan firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ
دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ
الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ
بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil menjadi
teman kepercayaan kalian orang-orang yang di luar kalanganmu (yaitu
orang-orang kafir) karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan
kemudaratan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian.
Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh
hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada
kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya.” (QS. Ali Imran [3]:
118)
Firman Allah di atas sangat jelas dan begitu mudah dipahami. Seorang
muslim yang mengimani Allah dan Rasul-Nya, mengagungkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam dan merindukan syafaatnya kelak di hari
kiamat sudah tentu akan berpikir dengan logika keimanan. Mereka akan
bangkit memberikan pembelaan dengan waktu, tenaga, pikiran, harta dan
bahkan nyawa mereka manakala kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa salam dilecehkan.
Adapun para politikus yang sibuk mencari kursi kekuasaan atau rakus
mempertahankan kursi kekuasaan akan berpikir dengan logika politik.
Mereka rela jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dilecehkan.
Bagi mereka, pelecehan itu masalah kecil belaka, lupakan saja, tak perlu
dipikirkan, tak perlu marah. Bagi mereka, pelecehan itu tidak ada
kaitannya dengan keimanan dan keislaman sama sekali.
Mereka tak akan melakukan pembelaan karena khawatir tuan besar AS dan
Barat marah. Mereka khawatir jika media massa internasional yang
dikendalikan Yahudi dan Nasrani melabeli mereka dengan label “muslim
fundamentalis”, “muslim ekstrimis”, atau bahkan “muslim teroris”. Mereka
khawatir jika dituding “anti HAM”, “anti demokrasi”, “anti kebebasan
berkespresi”, atau “anti kebebasan seni”. Mereka khawatir jika
dikeluarkan dari kelompok elit “muslim moderat”.
Bagi mereka, tidak apa-apa kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa salam dilecehkan, asal bukan presiden, mentri, DPR/MPR, partai
politik kita atau organisasi massa kita yang dilecehkan. Bagi mereka,
tidak apa-apa kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam
dilecehkan asalkan “kursi” kita tidak hilang, asalkan konstituen kita
tidak hilang. Na’udzu billah min dzalik!!!
(muhib almajdi/arrahmah/www.globalmuslim.web.id]
(muhib almajdi/arrahmah/www.globalmuslim.web.id]
0 komentar: